Proses fermentasi menjadi salah satu metode yang cukup penting untuk beberapa industri makanan dan minuman terutama untuk produksi beberapa produk seperti roti, keju, yogurt, tempe, wine, dan lainnya. Kualitas hasil fermentasi dipengaruhi oleh beberapa hal seperti kondisi lingkungan. Salah satu kondisi lingkungan yang sangat berperan penting adalah kualitas air. Kontaminan pada air yang digunakan untuk fermentasi dapat mengganggu jalannya proses fermentasi, sehingga dapat menurunkan kualitas produk.
Seperti yang diketahui bahwa proses fermentasi menggunakan beberapa mikroba baik untuk mengawetkan makanan, namun saat air yang digunakan fermentasi mengandung mikroba berbahaya dapat menyebabkan infeksi silang, sehingga menghasilkan produk samping yang merugikan. Contohnya apabila terdapat kontaminasi bakteri seperti Escherichia coli atau Salmonella pada proses fermentasi dapat merusak produk akhir seperti pada bir atau yogurt. Dalam pembuatan bir, jika terdapat bakteri yang tidak dibutuhkan dapat menyebabkan rasa asam atau bahkan bau yang tidak sedap.
Selain dapat menyebabkan perubahan rasa dan aroma, kontaminasi bakteri yang tidak dibutuhkan dapat menyebabkan perubahan tekstur produk. Hal ini disebabkan karena mikroorganisme tersebut dapat merusak kualitas organoleptik produk. Untuk mencegah permasalahan ini, banyak industri menggunakan klorin sebagai desinfeksi pada air prosesnya. Namun, penggunaan klorin sebagai desinfeksi justru menyebabkan permasalahan lain. Jika kandungan klorin masih tersisa saat proses fermentasi dapat menyebabkan mikroorganisme yang dibutuhkan untuk proses fermentasi justru terbunuh. Contohnya penggunaan klorin pada fermentasi keju dapat mempengaruhi aktivitas kultur starter, sehingga menyebabkan pembentukan keju yang tidak sesuai standar.
Oleh sebab itu, perlu dibutuhkan solusi teknologi yang lebih aman dan efektif sebagai pengganti desinfeksi klorin. Teknologi UV-C menjadi pilihan tepat sebagai pengganti klorin karena efektif membunuh mikroorganisme seperti jamur, bakteri, virus tanpa meninggalkan residu berbahaya. Sedangkan klorin dapat meninggalkan rasa dan bau yang tidak diinginkan serta dapat menghasilkan produk samping berbahaya seperti trihalometan (THM) yang dapat menjadi kontaminan berbahaya. Teknologi UV-C tidak memerlukan waktu kontak yang lama karena UV-C mendesinfeksi secara langsung saat sinar UV-C menyinari air proses dan membunuh mikroorganisme saat itu juga. Hal ini berbeda dengan klorin yang perlu untuk menunggu klorin bereaksi dan setelah bereaksi pun air tidak dapat langsung digunakan dan memerlukan bahan kimia lain untuk menetralkannya seperti natrium tiosulfat.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Arianda & Yunianta (2015), teknologi sinar Ultraviolet diketahui dapat berpenetrasi cukup kuat pada dinding sel mikroorganisme yang dapat mengubah komposisi asam nukleatnya. Keuntungan lain dari Teknologi UV-C yaitu tidak menimbulkan racun karena tidak menggunakan bahan kimia dan tidak menimbulkan produk samping yang beracun, aman digunakan meski dosisnya berlebih, tidak ada perubahan arima terutama pada produk akhir, tidak memiliki emisi senyawa organik yang mudah menguap atau emisi udara yang beracun, membutuhkan waktu kontak yang relatif singkat, dan tidak berpengaruh pada kelembaban maupun suhu produk pangan serta lebih ekonomis. Dengan keuntungan-keuntungan tersebut dapat disimpulkan bahwa teknologi UV ini sangat cocok digunakan sebagai sterilisasi air proses yang akan digunakan sebagai air proses fermentasi.
Baca Juga:
- Pentingnya Sanitasi Permukaan untuk Cegah Penyakit Pada Sapi Perah
- Solusi dan Cara Tepat Atasi Air Sumur Keruh dan Berbau di Musim Kemarau
- Mengapa Kopi Janji Jiwa Semakin Enak? Inilah Rahasianya Bersama Yuki Water
- Proses Fermentasi Lebih Aman dan Efektif dengan Teknologi UV-C
- Ancaman Bahaya Fluorida dalam Air Minum, Dapat Sebabkan Menurunnya IQ Anak