Halo mitra budidaya, perubahan iklim secara global yang terjadi dalam beberapa dekade terakhir ini telah memicu munculnya berbagai fenomena cuaca ekstrem yang berdampak luas pada beberapa sektor, termasuk sektor akuakultur. Cuaca ekstrem ini meliputi peningkatan suhu, curah hujan yang tidak menentu, badai, serta musim kemarau dan hujan yang berlangsung lebih panjang dari biasanya. Bagi negara kepulauan seperti Indonesia hasil perikanan budidaya sangat penting, sehingga perubahan ini membawa tantangan serius yang tidak dapat dipandang sebelah mata. Salah satu dampak utama dari cuaca ekstrem terhadap akuakultur adalah perubahan suhu air yang drastis. Kenaikan suhu air dapat menyebabkan stres pada ikan dan udang, yang berdampak pada menurunnya nafsu makan, lambatnya pertumbuhan, serta meningkatnya kerentanan terhadap penyakit. Sebaliknya, suhu yang terlalu rendah juga dapat mengganggu metabolisme dan menyebabkan kematian secara massal, terutama pada spesies yang sensitif terhadap suhu, seperti udang vaname dan ikan nila.
Selain suhu, kualitas air juga turut mengalami perubahan secara signifikan akibat curah hujan yang ekstrem atau kekeringan berkepanjangan. Ketika hujan deras terjadi, air tawar yang masuk ke dalam tambak atau kolam budidaya dapat menurunkan salinitas dan pH secara langsung dan tiba-tiba. Kondisi ini memicu ketidakseimbangan lingkungan perairan dan sering kali menyebabkan stres pada organisme budidaya. Tak jarang pula, air hujan juga membawa polutan dan limbah dari sekitar tambak yang mencemari media budidaya. Akibatnya, patogen seperti virus dan bakteri menjadi lebih mudah berkembang dan menginfeksi organisme budidaya, yang menyebabkan wabah penyakit seperti white spot pada udang atau infeksi bakteri pada ikan.
Di berbagai wilayah Indonesia, dampak ini sudah terasa nyata. Misalnya, para pembudidaya udang di pesisir Lampung dan Sulawesi melaporkan peningkatan kasus kematian udang akibat perubahan suhu dan kualitas air yang drastis. Di Danau Cirata, Jawa Barat, fenomena kematian massal ikan nila terjadi hampir setiap tahun akibat fluktuasi suhu dan kekurangan oksigen setelah hujan deras. Untuk menghadapi tantangan ini, pembudidaya perlu melakukan berbagai langkah adaptasi. Monitoring kualitas air seperti suhu, pH, dan kadar oksigen harus dilakukan secara rutin, dan sebaiknya menggunakan alat digital atau sensor yang lebih akurat. Desain tambak atau kolam juga harus adaptif terhadap perubahan cuaca, misalnya dengan sistem drainase yang baik atau penggunaan peneduh dan penyuplai oksigen. Selain itu, memilih bibit yang lebih tahan terhadap perubahan lingkungan serta menerapkan manajemen pakan dan biosekuriti yang ketat dapat membantu mengurangi dampak negatif dari cuaca ekstrem.
LIQUISENS hadir sebagai solusi atas permasalahan pemantauan kualitas air di tambak. Alat berbasis Internet of Things (IoT) ini memungkinkan mitra budidaya untuk mengawasi empat parameter utama kualitas air seperti suhu, pH, oksigen terlarut (DO), dan salinitas hanya dalam satu perangkat. Data yang dikumpulkan oleh LIQUISENS secara otomatis dikirim ke perangkat seperti ponsel atau ditautkan langsung ke Whatsapp pembudidaya secara real-time, memberikan informasi yang cepat dan presisi tanpa harus mengandalkan pengamatan manual yang membutuhkan waktu untuk terlihat. Dengan teknologi ini, petambak dapat dengan mudah mendeteksi kapan dan di mana lokasi kualitas air mulai memburuk. Penggunaan LIQUISENS menghilangkan ketergantungan terhadap pengamatan visual, bioindikator, maupun alat ukur tunggal (manual) yang seringkali tidak mampu memberikan gambaran menyeluruh dalam waktu singkat. Dilengkapi sistem notifikasi otomatis, LIQUISENS juga membantu petambak mengambil tindakan segera guna mencegah kerugian yang lebih besar. Selain itu, perangkat ini ramah lingkungan karena menggunakan tenaga surya dan tidak membutuhkan pasokan listrik dari luar. Inovasi seperti LIQUISENS menjadi pengganti metode konvensional yang terbukti kurang efektif dalam mendeteksi perubahan kualitas air secara cepat dan akurat.
Bagaimanapun peran pemerintah juga sangat penting dalam upaya adaptasi ini. Pemerintah melalui dinas perikanan perlu meningkatkan edukasi dan penyuluhan kepada petani mengenai perubahan iklim dan strategi budidaya yang berkelanjutan. Sistem peringatan dini cuaca juga harus diperkuat agar pembudidaya bisa lebih siap menghadapi perubahan cuaca yang tiba-tiba. Tak kalah penting, dukungan finansial dan program asuransi perikanan harus dikembangkan agar petani yang terkena dampak bisa segera bangkit dan melanjutkan usaha budidayanya. Secara keseluruhan, perubahan cuaca ekstrem merupakan tantangan nyata yang perlu dihadapi bersama. Meski risikonya cukup besar, sektor akuakultur tetap memiliki peluang untuk berkembang jika dikelola dengan adaptif dan berkelanjutan. Dengan kolaborasi antara pembudidaya, pemerintah, peneliti, dan masyarakat, kita bisa menjaga ketahanan pangan dari sektor perikanan budidaya meskipun menghadapi tantangan iklim yang terus berubah.
Baca Juga: